Wednesday, May 23, 2007

Flowers For Algernon


Pernah kebayang gak kalo kita tiba2 jadi orang paling jenius di dunia?
Hemm...gimana ya rasanya jadi orang jenius...?? Seru kali yee...

Cobalah tanyakan pertanyaan itu pada Charlie, salah satu tokoh dalam novel fiksi yang sangat menyentuh, berjudul “Flowers for Algernon” karya Daniel Keyes, diterbitkan oleh penerbit UFUK. Seperti novel Keyes sebelumnya, “24 Wajah Billy” dan “Pertarungan Jiwa Billy”, novel ini juga merupakan jenis novel psikologis. Gaya penuturan tokohnya mengingatkan saya pada novel2 psikologis non fiksi karya Torey Hayden seperti “Sheila”, “Kelas 205”, “Kevin”, ataupun novel2 non fiksi sejenis seperti “A Child Called It”.

Salah satu hal menarik dari novel ini buat saya adalah gaya penceritaan tokoh Charlie yang menceritakan dari sudut pandang orang pertama, yaitu tokoh Charlie sendiri, yang menulis diary perkembangan dia selama menjalani proses terapi ‘penjeniusan otak’. Membaca novel ini kita bagaikan membaca langsung diary Charlie, dimana kita diajak untuk menyelami apa yang terjadi dalam kepala Charlie. Siapa yang menyangka pada akhirnya kecerdasan yang ia peroleh malah menjadikan dirinya merasa terasing dan kesepian.

Selama membaca ‘diary’ Charlie, saya merasa seolah-olah sayalah Charlie! Saya bisa merasakan apa yang dirasakan Charlie. Saya bisa merasakan kegamangan dan kebingungan Charlie pada periode transisi dari seorang dungu menjadi seorang jenius. Saya bisa merasakan excitement yang Charlie alami ketika tiba2 saja segala hal menjadi sangat jernih buatnya. Hal2 yang dulu sangat sulit ia pahami, tiba2 saja menjadi hal yang sangat sederhana buat dia, dan itu membuatnya semakin bernafsu untuk tahu lebih banyak lagi tentang segala hal. Saya bisa merasakan kegalauan hati Charlie ketika dia menyadari orang2 yang ia sukai dan ia anggap teman tiba2 saja berubah dan menganggap ia ‘berbahaya’ karena ia menjadi pintar, kecerdasannya ternyata menjadi ‘ancaman’ buat orang lain. Saya juga bisa merasakan kehilangan yang amat sangat ketika Algernon, satu2nya sahabat setia dan ‘teman senasib’ saya *eh, Charlie maksudnya* ternyata harus mati ditengah ‘perjuangan’ mereka. Dan yang paling penting, saya bisa merasakan kehampaan dan kesepian yang ia alami.
Ehmm....ternyata menjadi jenius tidak seenak yang saya bayangkan yah :-)

Hadirin sebangsa dan setanah air, inilah sedikit bocoran alur cerita (versi saya)...
Alkisah, Charlie adalah seorang pemuda yang memiliki keterbelakangan mental sejak lahir. Dengan IQ yang jongkok (atau tiarap??), sepanjang hidupnya Charlie selalu dipermainkan dan jadi bahan olok-olok orang2 sekitarnya. Walaupun dari kacamata Charlie yang sederhana, semua perlakuan yang dia terima adalah bentuk kasih sayang orang2 terhadap dirinya. Karena itu Charlie merasa senang. Karena itu Charlie merasa cukup bahagia dengan hidupnya yang dikelilingi oleh orang2 yang dia anggap sebagai teman2nya.

Sampai pada suatu waktu, ada sekelompok ilmuwan yang menemukan metode untuk memperbaiki dan mempercepat pertumbuhan jaringan di otak. Kelompok ilmuwan tersebut percaya bahwa metode penemuan mereka ini akan dapat menolong orang2 seperti Charlie untuk dapat memiliki kemampuan otak seperti orang normal, bahkan jauh di atas kemampuan otak orang normal. Singkatnya, metode ini dipercaya bisa mengubah seseorang menjadi sangat jenius. Apalagi setelah melihat perkembangan Algernon, tikus eksperimen yang berkembang menjadi jenius, para ilmuwan tersebut semakin yakin bahwa metode ini juga bisa diterapkan pada manusia. Akhirnya dipilihlah Charlie sebagai manusia pertama yang diujicoba untuk menguji apakah metode ini benar2 bisa digunakan untuk membantu orang2 tidak beruntung seperti Charlie.

Awalnya, proses ini berjalan mulus dan kelihatan baik2 saja. Charlie memang mengalami perkembangan kecerdasan yang sangat pesat. Everybody seems happy. Bahkan kemudian kecerdasan Charlie mencapai taraf kecerdasan yang jauh melampaui para ilmuwan hebat yang telah membuatnya jenius. Hingga suatu saat, Algernon tiba-tiba menunjukkan gejala aneh diikuti penurunan kecerdasan yang (juga) sangat pesat, dan kemudian mati. Pada saat yang hampir bersamaan, Charlie --yang kini sudah jauh lebih cerdas daripada para ilmuwan hebat yang ‘menciptakannya’--, menemukan sendiri kelemahan dan cacat metode tersebut. Dengan kejeniusan otak yang dia miliki saat itu, dia harus berpacu dengan waktu untuk menemukan solusi mengatasi kelemahan tersebut agar ia tidak bernasib sama seperti Algernon sahabatnya.

Hemmm...apakah kejeniusan Charlie bisa mengalahkan sang waktu??

Apakah Charlie akan mengalami hal yang sama seperti Algernon sahabatnya??
Atau justru --seperti biasa-- sang WAKTU lah yang akan kembali menunjukkan keperkasaannya untuk menaklukan kesombongan manusia?? *halah bahasanya kiii...serasa nonton Power Rangers*

Silahkan baca sendiri bukunya untuk mengetahui jawabannya :-)

Sebagai penutup, saya kutipkan kalimat yang bikin saya tertegun dalam novel ini...
“...tidak seharusnya orang mengetahui lebih dari yang diberikan kepadanya oleh Tuhan...”

0 comments:

 

Copyright © CARPE DIEM!!! Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger