Monday, September 03, 2007

Bangsa Gila Gelar

1 comments
Sejak dahulu kala, bangsa kita ini dikenal sebagai bangsa yang mendewakan gelar. Zaman dulu, orang2 akan sangat bangga dengan gelar yang terkait dengan kebangsawanan seperti Raden, Raden Ajeng, dsb. Pada waktu itu, orang bergelar bangsawan mendapat tempat tertinggi dalam kasta masyarakat, tidak perduli apakah moralnya rendah atau mempunya IQ tiarap sekalipun, orang2 tetap mesti membungkuk hormat ketika berpapasan dengan mereka di jalan.

Lalu adalagi contoh bagaimana masyarakat begitu dibutakan oleh makhluk bernama ‘Gelar’ ini. Kali ini gelar yang terkait dengan keagamaan seperti Haji, Kyai, dan lain sebagainya. Seringkali saya melihat realitas dimana masyarakat menempatkan orang2 bergelar tinggi ini sebagai manusia setengah dewa (atau setengah tuhan??), yang setiap perkataannya harus dituruti dan ditelan bulat2, tanpa boleh dipertanyakan. Mengabaikan perkataan orang ini niscaya pintu surga akan tertutup buat mereka. Mempertanyakan perkataan orang ini maka ia akan dicap sebagai orang yang kurang iman.

Gimana dengan ‘gelar’ yang berasal dari kemiliteran?? Idem ditto.
Perhatiin aja gimana arogannya orang2 berpangkat ketika memperlakukan orang yang dia anggap lemah dan berstatus sosial di bawahnya. Yang luar biasa, khusus untuk ‘gelar’ militer ini, arogansi tidak hanya dimiliki orang2 yang pangkatnya tinggi saja, tapi juga semua strata memiliki arogansi yang beti (beda tipis). Tentunya kita tidak bisa menggeneralisir, masih cukup banyak juga kok orang2 militer yang punya kepribadian rendah hati.

Begitu juga dalam hal tingkat pendidikan. Di sini, gelar pendidikan juga berarti status sosial. Dalam strata sosial, seorang lulusan SD (biasanya) dipandang lebih rendah dibanding seorang lulusan SMP. Begitu seterusnya, lulusan S2 dianggap memiliki kedudukan sosial yang lebih ‘mulia’ dibandingkan seorang lulusan S1.

Karena alasan tersebut, maka menjadi seorang lulusan S2 di Indonesia ini ternyata menjadi serba salah posisinya. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka ladang untuk mengamalkan ilmunya bukannya semakin luas, justru malah semakin sempit. Dengan ‘status’ yang begitu tinggi di masyarakat, maka seorang lulusan S2 HANYA pantas bekerja pada bidang atau posisi tertentu saja.
Karena itu, akan aneh jadinya bila ada seorang bergelar MBA ternyata memutuskan untuk berjualan soto ayam setelah lulus kuliah. Seorang MBA juga ‘tidak boleh’ berjualan telur di pasar, karena (konon katanya) itu hanya akan bikin malu orang tuanya saja. Seorang lulusan S2 yang bekerja di perusahaan atau bekerja sebagai PNS, posisinya jauh lebih ‘terhormat’ di mata masyarakat dibanding seorang lulusan S2 yang berjualan soto ataupun telur di pasar.

Fakta yang tidak diketahui kebanyakan orang adalah, bahwa di kepala MBA yang berjualan soto tersebut MUNGKIN telah terpetakan grand design rencana hidupnya untuk menjadi seorang pengusaha restoran bertaraf internasional. Atau dalam kepala si MBA penjual telur itu MUNGKIN tercetak visi untuk menyumbang devisa dengan menjadi eksportir telur kualitas unggul.

Untuk membangun sebuah istana yang megah tentunya harus diawali dengan meletakkan bata pertama. Untuk bisa memindahkan gunung diawali dengan memindahkan satu sekop tanah pertama. Dimana kondisi dan posisi kita saat ini bukanlah hal terpenting. Yang lebih penting lagi adalah dimana tujuan kita nanti.

Ironisnya adalah, paradigma seperti ini terjadi dalam sebuah negara yang (katanya) termasuk negara muslim terbesar di dunia, dimana seharusnya sebagian besar penduduknya yang beragama muslim benar2 menyadari bahwa yang membedakan seseorang dengan orang lain adalah ketakwaannya kepada Allah SWT. Orang berdarah biru dan berdarah merah sama-sama memiliki kewajiban shalat 5 kali dalam satu hari. Pak Kyai dan Pak Petani sama-sama wajib melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Seorang lulusan S2 dan seorang lulusan SD sama-sama berkewajiban untuk mengamalkan (semampunya) ilmu yang dia miliki demi kemaslahatan orang banyak.

Ilmu memang bisa mengangkat derajat seorang manusia, tetapi itu bukan pembenaran bagi orang2 yang berpendidikan/berilmu tinggi untuk merasa diri memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding orang lain. Ibarat sebuah pisau, ilmu bisa mengangkat derajat pemiliknya jika digunakan untuk hal2 positif, untuk memasak misalnya, ataupun untuk membantu sesama. Tetapi jika digunakan untuk menyakiti orang lain, pisau itu justru menjerumuskan dan merendahkan derajat pemiliknya.

Well, enough talking. Makin lama kayaknya makin gak fokus deh tulisannya:-)

Inti tulisan ini sebenarnya adalah hanya bentuk ungkapan kekecewaan saya terhadap paradigma (sebagian besar) masyarakat Indonesia yang terlalu silau dan mendewakan berbagai gelar. IMHO, mindset seperti ini gak akan membawa bangsa ini menjadi bangsa yang lebih maju (CMIIW).
Sebagai penutup, saya kutip kalimat dari Carol S Dweck dalam bukunya yang berjudul “Change Your Mindset, Change Your Life” :
“Jika menginginkan perubahan kecil, garaplah perilaku anda. Jika menghendaki perubahan besar dan mendasar, garaplah mindset anda”.
Read full post »
 

Copyright © CARPE DIEM!!! Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger